Halaman

Minggu, 20 Juli 2014

Tes Perkembangan

Karena Pertumbuhan saja Tidaklah Cukup

Anak yang sehat ditandai dengan perkembangan dan pertumbuhan yang  optimal, tidak berlebihan ataupun kekurangan. Seringkali orangtua merasa senang dan puas bila melihat sang buah hati bertubuh gemuk menggemaskan. Demikian pula bila anak aktif berlari, memanjat dan melompat kesana kemari.

Tapi akan menjadi kekhawatiran dan tanda tanya bila anak yang gemuk hingga usia 6 bulan belum mampu tengkurap sendiri. Atau anak yang sangat aktif gerakannya ternyata hingga usia 3 tahun belum bisa berbicara ataupun berkomunikasi : berlari kesana kemari tanpa menghiraukan panggilan, memukul tanpa arah dan hanya asyik dengan dirinya sendiri.

Contoh anak dengan keterlambatan perkembangan :

Seorang anak laki-laki, 3 tahun, mulai menunjukkan gejala hiperaktif, yaitu : bergerak sangat aktif, berlari ke sana kemari sendiri tanpa arah dan tujuan bermain yang jelas, tidak menghiraukan panggilan dan ucapan, sering memukul terutama bila orang lain bila tidak memenuhi apa yang dikehendakinya. Orangtua membawanya berobat dan anak tersebut diberi obat agar bisa tenang. Namun bila pengaruh obat tersebut hilang maka anak akan kembali menjadi “beringas”. Dan yang membuat keadaan makin parah adalah asupan makan dan minumnya menjadi berkurang akibat tidur yang lebih lama sehingga berat badan anak tersebut berkurang. Karena tidak terdapat perbaikan, orangtua mencari  ”second opinion” dan oleh dokter dilakukan tes pendengaran. Dan betapa terkejutnya orangtua saat hasil tes pendengaran disampaikan karena hasil tes pendengaran menyatakan bahwa anak tersebut “TULI BERAT”.


Dapat dipahami bahwa seseorang yang tuli akan menjadi bisu. Dan anak yang tuli lebih cenderung menjadi anak yang hiperaktif dan temperamental karena ia tidak dapat menyatakan keinginannya dan orang lain tidak dapat memahami keinginannya. Seringkali orangtua menganggap bahwa anak laki-laki “wajar” bila nakal, aktif, dan terlambat kemampuan bicaranya. Hal ini yang membuat orangtua menjadi lalai terlebih bila anak sehari-hari hanya bersama pengasuh yang umumnya tidak memahami tahap perkembangan bayi/anak.


Parents, umumnya kita menilai perkembangan buah hati hanya dari perkembangan motorik kasarnya saja, yaitu : tengkurap usia 4 bulan, duduk usia 6-7 bulan, berdiri dan mulai berjalan usia 9-10 bulan. Sangat jarang parents mengetahui dan memahami tentang perkembangan motorik halus, perkembangan berbicara (bahasa) dan kemampuan anak untuk berinteraksi dengan orang lain.



Pada contoh anak di atas, orangtua menyatakan bahwa mereka tidak menyadari bahwa anak mereka tuli karena menganggap anak perempuan memang “lebih pintar” bicaranya daripada anak laki-laki. Dan mereka menyatakan bahwa anak mereka juga menoleh bila mendengar suara petir atau klakson yang keras.

Untuk mengetahui perkembangan seorang anak mutlak diperlukan alat ukur yang akurat dan telah menjadi standar intarnasional. Bila kita menilai anak kita tidak tuli karena anak menoleh bila mendengar klakson yang keras, tentu saja hal tersebut tidak dapat dijadikan pedoman untuk menilai seorang anak menderita gangguan pendengaran atau tidak.

Tes perkembangan dengan metode DDST (Denver Development Screening Test) merupakan tes perkembangan yang akurat dan menjadi standar internasional (bukan hanya Indonesia), sehingga penilaian tahap perkembangan untuk anak Indonesia akan sama dengan anak di Amerika, Eropa, Afrika dan negara lain. DDST menguji perkembangan bayi/anak hingga mulai lahir hingga usia 6 bulan, meliputi aspek motorik kasar,motorik halus, bahasa dan personal sosial.


Dengan DDST maka :

  • Seorang bayi harus dapat menoleh bila diperdengarkan suara lonceng yang telah terstandarisasi, di mana kekuatan bel tersebut sama dengan kekuatan suara percakapan biasa.Sehingga ketulian, yang ditandai dengan “bisa mendengar” suara klakson yang keras, akan dapat terdeteksi sedini mungkin sehingga mencegah gangguan komunikasi dan perilaku pada anak.
  • Seorang bayi harus dapat menggenggam icik-icik (dengan bentuk dan besar yang terstandarisasi) sebelum usia 6 bulan. Bila belum mampu maka harus diwaspadai terdapat keterlambatan pada aspek motorik halus yang merupakan tanda gangguan perkembangan otak.
  • Seorang bayi harus bisa tepuk tangan sebelum usia 12 bulan. Bila bayi belum tepuk tangan hingga usia 12 bulan maka kemampuan dalam aspek personal sosial (interaksi sosial) harus diwaspadai. Sehingga tidak terjadi lagi anak baru diketahui terdapat gejala autism pada usia 3 tahun.



Tes perkembangan sudah dapat dilakukan sejak bayi berusia 1 bulan. Bila tidak didapatkan kecurigaan keterlambatan perkembangan, tes cukup dilakukan tiap 3 bulan namun bila terdapat keterlambatan harus dilakukan tiap bulan disertai latihan untuk mengejar ketertinggalan. Karena ada kalanya “keterlambatann” terjadi karena kurangnya stimulasi. Sehingga bila setelah dilakukan stimulasi dengan target waktu tertentu ternyata tidak mengalami kemajuan yang bermakna, bayi/anak harus dirujuk ke dokter Spesialis Anak agar dapat diketahui penyebabnya dan dapat dilakukan intervensi sedini mungkin.